Pelestarian Lingkungan dalam Al-Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kelestarian lingkungan dalam hidup umat manusia memiliki peran yang besar bagi kelangsungan hidupnya, karena itulah alam dan manusia saling membutuhkan. Kebutuhan sandang, papan, dan pangan berasal dari alam sekitar. Manusia juga, sebagai makhluk-Nya, bergantung pada bahan-bahan yang disediakan dan tersedia dalam ekosistem kehidupan. Maka, ketika perilaku destruktif umat manusia dibiarkan merajalela di abad teknologis dan modernis seperti sekarang ini, kelestarian alam akan terancam sehingga diperlukan upaya pencegahan (preventif).
Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk (hudan li al-naas), diturunkan Allah ke muka bumi untuk menanggulangi kesengkarutan tatanan kehidupan umat manusia. Pelestarian, pemeliharaan, dan pengelolaan lingkungan hidup dari segala bentuk pengrusakan merupakan pesan dakwah yang disampaikan Tuhan melalui sejumlah ayat Al-Quran. Pesan dakwah tersebut selalu diekspresikan dalam konteks bagaimana kedudukan, fungsi, dan peran manusia sebagai mukhâthab utamanya dalam kaitan dengan hak dan kewajibannya di muka bumi, yakni dalam konteks habl min Allâh, habl min al-nâs, dan habl ma’a al-`âlam.
Posisi al-Qur’an bagi umat Islam sebagai petunjuk (al-hudan), penjelas (bayyinat), dan pemilah (al-furqan) atas persoalan dan kejadian yang melingkupi kehidupan di muka bumi. Dengan demikian, ketika berhadapan dengan persoalan kerusakan lingkungan di muka bumi, Al-Qur’an dapat dijadikan rujukan merancang bagaimana seharusnya umat manusia memperlakukan lingkungan sesuai substansi yang tersirat maupun tersurat dalam ayat qauliyah maupun ayat kauniyah yang diturunkan Allah Swt.
Pada makalah ini penulis mencoba menelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan relasi kosmik antara manusia dengan alam sekitar. Diharapkan umat Islam dapat menjadikan substansi makalah ini untuk kepentingan pelestarian lingkungan, sebagai bukti pelaksanaan ajaran “rahmatan lil alamin”. Hemat penulis, lingkungan merupakan tanggung jawab seorang manusia sebagai hamba (al-abdu’) dan pemimpin di muka bumi (khalifah fi al-ardh) untuk secara konsisten menjaga kelestarian lingkungan hidup di sekitar.[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian lingkungan?
2. Apa permasalahan lingkungan?
3. Bagaimana tahap-tahap pelestarian lingkungan dalam al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujan:
1. Untuk mengetahui pengertian lingkungan.
2. Untuk mengetahui permasalahan lingkungan di sekitar kita.
3. Untuk mengetahui tahap-tahap pelestarian lingkungan dalam al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lingkungan
Lingkungan dapat dimaknai dengan beberapa hal, di antaranya adalah semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan.[2]Secara mudah lingkungan dipahami sebagai semua yang melingkupi kita dan berada di sekitar kita.
Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan lingkungan sebagai sebuah lingkup di mana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri, sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela atau terpaksa.[3]Lingkungan ini meliputi lingkungan yang bersifat dinamis (lingkungan hidup) dan lingkungan yang bersifat statis (lingkungan mati). Lingkungan hidup bisa berupa kehidupan manusia sendiri maupun kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sedang lingkungan mati berupa alam semesta yang diciptakan Allah dan juga berbagai bangunan yang diciptakan manusia.
Pengertian lingkungan secara harfiah adalah segala sesuatu yang mengitari kehidupan, baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, maupun berupa non-fisik, seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang, serta teknologi.[4]
Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Sejauh mana seseorang berhubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya. Tetapi keadaan itu tidak selamanya bernilai pendidikan, artinya mempunyai nilai positif bagi perkembangan seseorang, karena bisa saja malah merusak perkembangannya.[5]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan meliputi segala kondisi fisiologis manusia, seperti gizi, syaraf, peredaran darah, pernafasan, dan sebagainya, kondisi psikologis manusia, mencakup segenap stimulus yang diterima manusia sejak dalam masa prenatal, kelahiran, sampai mati. Kondisi sosial cultural meliputi interaksi dan kondisi yang bersifat social, adat istiadat, dan juga kondisi alam sekitarnya.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruangan dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Semua makhluk hidup sebenamya bertempat tinggal didalam suatu lingkungan yang semuanya merupakan struktur dasar ekosistem.
Sistem lingkungan atau yang sering disebut ekosistem merupakan contoh bagaimana sebuah sistem berjalan. Ekosistem merupakan suatu gabungan kelompok hewan, tumbuhan dan lingkungan alamnya dimana didalamnya terdapat aliran atau gerakan atau transfer materi, energi dan informasi melalui komponen – komponennya.
Sebagai suatu sistem, lingkungan harus tetap terjaga sehingga sistem itu dapat berjalan dengan teratur dan memberikan manfaat bagi seluruh anggota ekosistem. Manusia sebagai mahluk yang sempurna, yang telah diberikan amanah untuk menjadi khalifah memiliki peran penting dalam menciptakan dan menjaga keteraturan lingkungan dan sistem lingkungan ini. Untuk itulah manusia dituntut untuk mengembangkan perilaku yang baik terhadap lingkungan.[6]
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt memerintahkan agar manusia memberikan perhatian pada lingkungannya, seperti tentang kejadian bumi, gunung-gunung dan onta-onta. Firman Allah Swt dalam Surat al-Ghasyiyah ayat 17-20.
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧ وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ رُفِعَتۡ ١٨ وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ ١٩ وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ ٢٠
Artinya: (17). Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, (18). dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (19). dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (20). dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.[7]
B. Persoalan (Problem) Lingkungan
§ Persoalan Lingkungan di Sekitar Kita
1. Gangguan Sampah
Sampah merupakan problem lingkungan yang mungkin akan terus berlangsung di tengah masyarakat dalam kesehariannya. Budaya tertib sampah yang dicanangkan pemerintah ternyata belum mampu menanggulangi secara tuntas. Apalagi jenis sampah semakin hari seolah semakin beragam, sehingga proses penanganannyapun memerlukan metode yang beragam pula.
Di sekitar pedesaan sampah relatif mudah ditangani lantaran lahan pembuangan masih mudah dihasilkan. Namun terkadang kecerobohan masyarakat membuat masalah ini menjadi serius. Hingga selain menimbulkan gangguan bau tidak sedap, beragam penyakit juga mungkin timbul akibat penumpukan sampah yang akhirnya menjadi sarang nyamuk. Lain halnya masalah yang dihadapi daerah perkotaan akibat sampah. Selain lokasi pembuangan yang sulit didapatkan, minimnya daerah resapan air membuat sampah-sampah menggunung menyumbat saluran-saluran air hingga mengakibatkan genangan air atau bahkan banjir.
Dalam fenomena ini, syariat sebenarnya telah mengatur secara lengkap tentang konsep penanganan sampah. Sampah merupakan sisa-sisa pemanfaatan yang menurut Islam harus dibuang sesuai dengan tempatnya. Membuang sampah di sembarang tempat, apalagi di tempat tempat umum, tidak diperkenankan. Bahkan jika hal tersebut berakibat negatif, syariat memberikan sangsi-sangsi sesuai tingkat gangguan yang ditimbulkan. Sedangkan mengenai penanganan sampah, syariat berbicara secara garis besar, bahwa sampah dalam bentuk apapun sebenarnya harus dicarikan tempat sebagai lokasi pembuangan. Hanya saja harus berbentuk tempat yang layak atau lazim (‘urfi) digunakan sebagai pembuangan.1 Dikarenakan standar yang terpakai dalam syariat adalah kelaziman masyarakat (‘urfi), maka metode penanganan sampah dengan bentuk apapun, selama tidak menimbulkan masalah baru, tentu baik untuk dilakukan. Jangan sampai sampah-sampah plastik yang ditangani melalui metode daur ulang pabrik, kemudian berubah mengakibatkan gangguan polusi yang ditimbulkan oleh pabrik tersebut.
2. Air Kotor adalah Sarang Penyakit
Genangan air bisa timbul dari berbagai macam sebab, mungkin adakalanya disebabkan kecerobohan sebagian masyarakat yang minim tempat pembuangan. Atau mungkin akibat dari sisa sisa air bah atau banjir yang kerap melanda kawasan tertentu. Genangan air yang berada di pinggiran pemukiman, empang-empang kering, atau bahkan di jalan-jalan umum, tidak hanya sekedar merusak keindahan dan menimbulkan bau tak sedap. Namun tempat tempat itu sangat berpotensi menjadi sarang utama nyamuk-nyamuk pembawa penyakit. Mungkin hampir tiap tahun kita direpotkan dengan penyakit demam berdarah, penyakit demam yang kerap kali merenggut nyawa penderitanya. Nyamuk aydes ayghipti sebagai penyebar penyakit ini mayoritas berkembang biak pada genangan-genangan air. Problema semacam ini termasuk budaya kotor yang jelas tidak selaras dengan nilai nilai syariat. Islam selalu menganjurkan melakukan budaya bersih dan selalu mencintai keindahan. Standarisasi air dalam konsep thaharah merupakan contoh paling sederhana dari budaya bersih dan heigenis dalam Islam. Air kotor (berubah sebab najis ataupun yang lain) maupun air yang diperkirakan tidak lagi hiegenis (berubah secara prediksi) dalam thaharah, tidak diperbolehkan digunakan sebagai sarana penyucian. Di sisi lain, syariat juga tegas melarang setiap individu membuat genangan-genangan air, ketika hal itu akhirnya akan berdampak gangguan atas orang lain. Bahkan syariat menetapkan sangsi serius ketika genangan tersebut berada di tempat tempat umum serta mengakibatkan kecelakaan atas orang lain.
Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa pemanfaatan air serta pembuangannya harus selalu mengutamakan prinsip-prinsip kesehatan maupun keamanan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga ketika prinsip itu kita aplikasikan, bagi semua lapisan masyarakat wajib bahu membahu dalam mengatasi setiap permasalahan lingkungan. Karena secara tidak langsung hal itu merupakan pengejawantahan nilai nilai agama.[8]
§ Fenomena Lingkungan di Perkotaan
1. Polusi Udara
Secara prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah diatur dengan begitu longgar, selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar wilayah kepemilikan pribadi. Membuat fasilitas melewati wilayah udara di atas rumah-rumah penduduk, harus melalui ijin mereka. Karena menurut syariat, wilayah udara yang berada di atas sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti status kepemilikan tempat yang berada di bawahnya.4 Bahkan pemanfaatan wilayah udara dari tempat-tempat umum juga diperkenankan selama tidak menimbulkan ekses negatif.
Asap kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain sebenarnya tidak secara langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja, ketika gangguan itu dihasilkan melewati udara, secara tidak langsung hal itu merupakan penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral. Dalam hal ini syariat menggaris bawahi, bahwa pemanfaatan udara yang diperkenankan adalah penggunaan secara wajar dan tidak sampai mengganggu atau bahkan menimbulkan ekses negatif bagi orang lain. Selain menetapkan sangsi, syariat juga memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran ketika mengakibatkan dampak negatif pada level tertentu, selama terbukti bahwa kesalahan itu memang diakibatkan prosedur yang tidak benar.
2. Taman Hijau Perkotaan
Demi mengatasi polusi serta memperbaharui kemampuan serapan air di daerah perkotaan, pemerintah akhirnya berinisiatif mencanangkan program penghijauan serta penggalakan taman hijau perkotaan. Taman hijau perkotaan lebih diprioritaskan untuk kawasan yang tingkat polusinya relatif tinggi. Asap kendaraan masih menduduki ranking tertinggi penyebab terjadinya polusi udara, selain asap-asap produksi yang berasal dari pabrik serta yang berasal dari proses pembakaran sampah di daerah perkotaan.
Dalam wacana syariat, menanam tanaman yang bermanfaat merupakan sebuah anjuran. Bahkan ketika pepohonan tersebut dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, Islam mengkategorikannya sebagai sedekah yang selalu mengalir. Tentunya hal ini dapat kita kontekstualisasikan dalam model penghijauan, dimana selain sebagai tempat berteduh, kemanfaatan dalam mengatasi masalah polusi tentu akan berpahala lebih maksimal.
Namun dalam hal ini syariat juga menghimbau pemerintah agar bijaksana dalam membangun sarana semacam ini. Dalam arti, lokasi taman perkotaan harus berada di tempat strategis serta tidak menimbulkan permasalahan baru.8 Di samping itu, perawatan pepohonan juga harus dilakukan oleh semua pihak, pemerintah sebagai penanggungjawab dibantu oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. Karena agama Islam menganggap pepohonan dengan segala kemanfaatannya adalah merupakan aset yang tidak boleh ditelantarkan begitu saja.
Secara umum dapat kita pahami bahwa pembuatan taman perkotaan merupakan kebutuhan penting yang layak untuk diprioritaskan. Islam memandang, pembuatan fasilitas semacam ini akan menjadi wajib karena memperhitungkan kemanfaatannya serta kepentingan yang terlanjur mendesak. Islam dalam hal ini sekaligus menyadarkan bahwa kestabilan lingkungan sebenarnya bukan hanya tanggungjawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggungjawab yang harus dipikul bersama oleh semua pihak.[9]
3. Limbah Pabrik
Kawasan Industri terutama di daerah perkotaan seringkali membawa masalah baru di tengah carut marutnya kehidupan perkotaan. Proses produksi yang sudah banyak menimbulkan masalah lingkungan, ternyata harus menelan korban lingkungan untuk kedua kalinya pada saat pembuangan/ penampungan limbah limbah produksinya sudah di luar batas kewajaran. Dan tidak jarang pabrik-pabrik yang berlokasi tidak jauh dari tempat pemukiman terpaksa harus berurusan dengan masyarakat sekitar, gara gara limbahnya merusak area persawahan, sumber sumber air atau bahkan ada yang sampai menelan korban. Limbah biasa mungkin relatif kecil pengaruhnya, akan tetapi limbah yang berasal dari produksi bahan kimia ataupun limbah limbah beracun tentu dampaknya akan lebih meluas, tidak hanya pada lingkungan namun juga pada nyawa manusia.
Sebenarnya pemerintah dalam hal ini telah menerapkan aturan standar pengolahan limbah, namun masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran dari beberapa oknum yang hanya memikirkan keuntungan bisnis tanpa mempedulikan dampak dari perbuatannya. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip ketaatan pada setiap aturan pemerintah, terlebih lagi jika aturan itu demi kemaslahatan umum, secara totalitas semua rakyat wajib mentaati tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan pengolahan limbah jelas demi kepentingan rakyat (maslahat al-’ammah), karena selain demi mengantisipasi keresahan rakyat hal itu secara umum merupakan kepedulian pemerintah akan lingkungan hidup.
Secara mikro syariat menggambarkan permasalahan semacam ini dalam sebuah kasus perembasan air dari sebuah tempat penampungan, dimana ketika penyebab dari kejadian itu adalah dari pemanfaatan secara prosedural (muwafiq al-’adah) dan masih dalam batas kewajaran, maka syariat masih bisa mentolerirnya. Namun jika sampai hal tersebut dilatarbelakangi oleh pemakaian yang tidak prosedural (mukhalif al-’adah), apalagi sampai di luar batas kewajaran, syariat secara tegas mewajibkan adanya tindakan maupun penetapan sangsi sesuai akibat yang ditimbulkan.
Hukum semacam ini terlaku ketika belum bersentuhan dengan aturan pemerintah yang mengikat. Padahal dalam hal ini pemerintah jelas menetapkan larangan membuang limbah tidak secara prosedural, berarti secara mutlak pemerintah berwenang menindak maupun menetapkan ganti rugi atas setiap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Prinsip ini selaras dengan kewajiban utama pemerintah yakni, melakukan kebaikan demi dan untuk rakyat serta mengantisipasi setiap ekses negatif yang mungkin timbul (fi’lu al-ashlah wa raf’u al-dlarar).[10]
4. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
Tanah pinggiran sungai merupakan fasilitas umum yang selama ini menimbulkan banyak sengketa. Mereka yang sudah lama menempati kawasan tersebut mengklaim daerah ini merupakan tanah warisan yang sah kepemilikannya, sedangkan dari pihak pemerintah melalui program penertiban berusaha merapikan kawasan kota serta bermaksud memperluas area aliran air guna kepentingan mengantisipasi banjir. Di daerah perkotaan, banjir lebih banyak disebabkan luapan air sungai di pinggiran kota akibat daerah aliran air yang semakin menyempit termakan sampah maupun bangunan-bangunan yang semarak menghiasi kawasan tersebut.
Menurut syariat, daerah aliran air sungai disebut dengan harim al-nahar yang secara hokum merupakan daerah yang tidak bertuan dan selamanya tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Karena daerah tersebut merupakan milik umum sebagai sarana pemanfaatan sungai. Pemanfaatan yang diperkenankan dalam kawasan ini hanya bersifat non permanen, artinya optimalisasi dari kawasan ini bukan sebagai lahan bangunan pribadi maupun lahan tanaman. Bangunan boleh didirikan asalkan demi pemanfaatan sungai, tidak mengganggu, tidak mengurangi fungsi sungai, serta statusnya tidak boleh diatas namakan sebagai kepemilikan. Bahkan syariat menetapkan sangsi ganti rugi sebagai kompensasi pemanfaatan fasilitas umum bagi oknum yang berani menyalahi ketentuan tersebut.
Dari wacana ini dapat kita pahami bahwa setiap kepemilikan yang diklaim atas daerah aliran air bukan merupakan kepemilikan yang legal secara syariat. Hanya saja ketika terjadi ketidakjelasan status atas wilayah tersebut, maka bagi pemerintah tidak diperkenankan semena-mena menertibkannya, karena kepemilikan itu menurut syariat dimungkinkan dari jalur yang legal. Sehingga pemerintah perlu berhati-hati ketika menertibkan daerah ini, andai tidak disertai bukti kuat tentang status kepemilikannya, karena terkadang masyarakat sudah mendiaminya selama berpuluh-puluh tahun.
Sebenarnya secara mayoritas pemerintah dalam usaha penertibannya telah melakukan hal yang selaras dengan prinsip-prinsip dalam syariat. Meskipun di satu sisi masyarakat yang berada di kawasan tersebut rata-rata merupakan rakyat kecil, namun karena status kepemilikannya tidak diakui syariat, berarti mereka bersalah dalam permasalahan ini. Namun tentunya pemerintah harus lebih bijak menyelesaikan problema ini, karena ketika penertiban dilakukan rakyat di kawasan itu akan kehilangan tempat tinggal, padahal di sisi lain kewajiban memelihara rakyat kecil merupakan tanggung jawab pemerintah.
5. Banjir
Timbunan sampah, penyempitan daerah aliran air, serta merosotnya kualitas serapan dari tanah merupakan alasan-alasan utama terjadinya banjir. Timbunan sampah dan penyempitan daerah aliran air menyebabkan penyumbatan aliran air hingga akhirnya meluap ke luar jalur. Merosotnya kualitas resapan dari tanah karena penebangan hutan dan pepohonan menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah sulit melakukan penetrasi ke arah bawah, sehingga cenderung mengalir dan sulit untuk dihentikan.[11]
Dalam sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa ini berkisar pada beberapa aspek yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia khususnya manusia Indonesia. Dalam suasana keadaan sekarang, dengan melihat ke masa depan, seakan-akan menonjol tiga persoalan dasar yang berkaitan dengan lingkungan hidup yaitu:
1. Perusakan dan perampokan hutan di Indonesia yang mencapai 600.000 hektar pertahun dan terus meningkat intensitasnya hingga tahun 1990-an menjadi 1, 2 juta hektar pertahun dan sekarang sudah mencapai 2 juta hinggi 2,4 juta hektar pertahun atau dalam perkiraannya setiap satu menit hutan Indonesia hilang seluas enam kali lapangan sepak bola. Jika hal ini terus dilakukan maka pada tahun 2010, hutan dataran rendah di daerah Sumatra dan Kalimantan akan habis. Dan untuk saat sekarang hutan dataran rendah di sudah dibilang nyaris habis. Akibatnya bisa dipastikan, jika hutan di dataran rendah habis maka akan terjadi penambangan hutan di dataran tinggi dan itu akan sangat membahayakan manusia. Indonesia boleh bangga dengan gelar nomor tiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Konggo untuk kategori luas hutan tropis, tetapi nampak hanya semu dan kamuflase belaka.
2. Perusakan sumber daya laut. Luas laut Indonesia yang sebesar 70% atau 2/3 dari dataran nusantara juga sudah dirusak ekosistemnya. Penangkapan ikan di laut dengan menggunakan bom dan racun hingga rnenyebarkan berbagai residu telah mengakibatkan rusaknya terumbu karang, polusi laut dan meracuni makanan ikan yang ada di laut. Akibatnya, setelah racun itu menyebar maka akan membahayakan dan mematikan ikan dan mahluk hidup laut lainnya.
3. Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat. Berbagai eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan tanah-tanah adat yang mengandung tambang yang kemudian dikuasi oleh perusahaan, baik dalam negeri maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air dan rusaknya sumber daya alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.
Karenanya harus dirumuskan langkah-langkah strategis untuk merumuskan berbagai kebijakan yang mendukung pelestarian hutan, sumber daya mineral dan tambang, sumber daya laut dan lainnya.[12]
C. Tahap-Tahap Pelestarian Lingkungan dalam Al-Qur’an
Adapun tahap-tahap ataupun langkah-langkahnya yang disebutkan dalam buku fikih lingkungan adalah sebagai berikut.
1. Manusia Mengemban Tugas Untuk Menjaga Bumi
Manusia sebagai makhluk yang dominan, sebagai salah satu unsur lingkungan hidup adalah makhluk Allah yang paling baik ciptaannya dan mempunyai kedudukan serta martabat yang mulia di dunia. Manusia lebih sempurna dan mempunyai kemampuan yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya yang diciptakan oleh Allah.
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh manusia adalah akal yang merupakan anugrah Allah yang sangat berharga. Manusia di beri kedudukan yang lebih tinggi sebagai khalifah di bumi.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki manusia ini diharapkan bisa memberi peran positif bagi kelangsungan hidup pada lingkungan hidup. maka Allah mengangkat manusia sebagai khalifah untuk menjadi pemimpin di dunia ini. Manusia sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30, diciptakan unluk menjadi kholifah:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi. (QS Al-Baqarah: 30)
Banyak sekali ayat-ayat yang diketemukan dalam AlQur’an dan Hadits yang memberikan perhatian serius terhadap peran manusia untuk memelihara dan melestarikan alam. Nabi juga telah bersabda:
ßõáßõãú ÑóÇÚò æóãóÓúÆõæúáñ Úóäú ÑóÚöíøóÊöåö ÝóÇúáÅöãóÇãõ ÑóÇÚò æóåõæó ãóÓúÆõæáñ ÑóÚöíøóÊöåö
Artinya: “Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang iman adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.
Khalifah di sini mempunyai arti sebagai berikut; Khalifah jamaknya Khala,if. Sedangkan Khalif jamaknya ialah Khulafa. Khalif diambil dari kata madi Khalafa, artinya menganti. Khalafa dari akar kata Khalf, artinya belakang, lawan dari kata salaf. Dalam al-Munjid mempunyai arti pengganti dan pemimpin. Kata khalifah di sini juga di ambil dari kata al-khilafah yang berarti pengganti (dari seseorang). Kata khalifah dalam surat Al Baqarah ayat 30 berarti pengganti. Manusia (bani adam) adalah khalifah/pengganti generasi sebelumnya, indikatornya dapat dilihat dari pernyataan malaikat tersebut. Di dalam ayat ini terdapat hubungan segi tiga antar Tuhan, alam, manusia. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam, serta Tuhan telah menaklukkan Alam kepada manusia.
Jabatan khalifah di artikan sebagai “Wakil Allah” dalam memimpin umat seisi alam dengan mengacu pada Al Qur’an seperti yang ditegaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 30. Tugas kekhalifahan manusia yang terdapat dalam Al Qur’an dapat di klasifikasikan menjadi tiga pokok yaitu: 1). Memakmurkan bumi, manusia dijadikan oleh Allah SWT dengan memikul amanah kekhalifahan itu pada dasarnya di tugaskan untuk megurus, memelihara, mengembangkan, dan mengambil manfaat bagi kesejahteraan manusia, untuk membekali manusia, Allah telah menganugerahkan berbagai potensi, seperti panca indra, perasaan, intelektual, keimanan dan keinginan. 2). Menegakkan kebenaran dan keadilan, menegakkan kebenaran merupakan salah satu tugas khalifah yang penting, dengan dasar ketentuan Tuhan, dilandasi pemikiran yang jernih (tidak emosional). 3). Motivator dan dinamisator pembangunan, posisi manusia sebagai kholifah disini di tuntut harus mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai motivator dan dinamisator dalam mengerjakan kebaikan (al-khair), baik secara vertikal seperti melakukan shalat maupun horisontal seperti dermawan (ita’iz zakah) dan hidup penuh dedikasi (abidun).[13]
Sebagai kholifah, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk ikut merawat, memelihara dan melestarikan berbagai fasilitas alam yang telah disediakan oleh Allah untuk manusia. Memang Allah telah membolehkan manusia untuk menggunakan seluruh sumber daya alam ini sebagai sumber rizki bagi manusia dan juga seluruh makhluk hidup yang ada diatasnya.
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya”. (Q.S Hud: 6)
Oleh karena itu, pemanfaatan itu tidak boleh semena-semena, dan seenaknya saja dalam mengeksploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, di daratan dan di dalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf: 56)
Menyadari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pembangunan, sumber daya alam Indonesia harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kita harus bisa mengambil i’tibar dari ayat Allah yaitu:
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا قَرۡيَةٗ كَانَتۡ ءَامِنَةٗ مُّطۡمَئِنَّةٗ يَأۡتِيهَا رِزۡقُهَا رَغَدٗا مِّن كُلِّ مَكَانٖ فَكَفَرَتۡ بِأَنۡعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلۡجُوعِ وَٱلۡخَوۡفِ بِمَا كَانُواْ يَصۡنَعُونَ ١١٢
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (Q.S An-Nahl: 112).[14]
2. Kerusakan Bumi Karena Ulah Tangan Manusia
Hal yang menyangkut etika dengan lingkungan alam salah satunya adalah bagaimana manusia membangun sikap proporsional ketika berhadapan dengan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat terpelihara dan terjaga kelestariannya sepanjang generasi umat manusia. Akan tetapi realitas tidak seindah harapan. Bencana alam datang silih berganti. Bencana alam tersebut telah benar – benar mengancam kehidupan manusia. Eksploitasi hutan dan rimba tanpa mempertimbangkan kesinambungan ekosistemnya menyebabkan hutan kehilangan daya dukungnya bagi konservasi air dan tanah.
Kalau hal ini didiamkan, berarti kita merelakan kerusakan itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Sebab lingkungan adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Tuhan tahu akan perangai manusia tersebut, karena itu manusia diingatkan. Manusia lupa bersyukur atas segala nikmat indahnya alam yang diciptakan Tuhan. Manusia justru kurang bersahabat dengan alam dan lingkungannya. Maka Al-Quran menyebutkan bahwa kerusakan di alam akibat ulah kejahatan manusia. Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri sehingga berbagai akibat dari perusakan itu ditanggung oleh manusia juga. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat diatas menjelaskan bahwa kerusakan yang kita rasakan saat ini baik di darat maupun di laut merupakan akibat dari kegiatan, aktivitas atau kebijakan manusia yang tidak mengindahkan pada keberlangsungan kehidupan. Semantara itu, Nabi juga mengingatkan umat manusia perihal menjaga lingkungan. Salah satu sabda Beliau:
Artinya: Dari Muadz berkata, saya mendengar Rosulallah bersabda: takutlah kalian pada tiga perbuatan yang dilaknat. Pertama, buang air besar di jalan, kedua, di sumber air dan ketiga di tempat berteduh. (HR. Ibnu Majah).
Bahkan di hadis yang lain ditambahkan, Rosulullah juga melarang buang air besar di lubang binatang dan di bawah pohon berbuah. Apresiasi Nabi terhadap kelestarian lingkungan amatlah jelas. Sisi gelap manusia terhadap alam sebagaimana disinyalir Tuhan diatas, kiranya menyadarkan manusia akan kekhilafannya itu. Jangankan merusak lingkungan seperti menebang pohon, mengganggu atau mencemari alam sekitar saja tidak dibenarkan.[15]
Oleh karena itu, perlu ditempuh langkah-Iangkah antisipasinya agar kerusakan yang terjadi didaratan dan lautan itu tidak semakin parah. Diantaranya adalah:
a. Perlu ada program reboisasi yang tidak hanya berupa proyek tetapi betul-betul diaplikasikan dilapangan. Siapa saja yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunanaan dana dan program reboisasi harus dihukum dengan berat. Disamping itu perlu juga dikembangkan hutan rakyat, hutan lindung, hutan cagar alam dan lainnya.
b. Perlu dijaga kelestarian sumber daya laut dengan membuat cagar laut, konservasi laut dan lainnya. Serta melarang dan menindak dengan tegas kepada para pengguna alat yang membahayakan seperti bom atau obat-obatan beracun untuk menangkap ikan dan lainnya yang akan memusnahkan ikan dan makhluk hidup laut hingga ke anak-anaknya.
c. Dilarangnya komersialisasi aset-aset sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti waduk, mata air, sungai, dan lainnya karena akan menyengsarakan hidup rakyat banyak.
d. Menindak tegas aparat, pebisnis, cukong dan siapapun saja yang melakukan perusakan dan eksploitasi hutan, laut dan sumber daya alam lainnya diluar batas rasional dan proporsionalitasnya.[16]
3. Air dijadikan Allah Sebagai Sumber Kehidupan
Bencana alam terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan menjadi berita yang telah akrab di telinga kita. Masih belum hilang dalam ingatan kita bagaimana sekian juta hektar hutan dilahap si ‘jambul merah’. Beberapa desa hanyut diterjang banjir bandang. Hal ini terjadi tidak lepas dan ulah manusia itu sendiri.
Tanpa beban dosa, dengan seenaknya mereka menebang kayu hutan. Kekayaan alam yang ada didalamnya juga diambil habis. Emas, perak, batubara dan barang tambang lainnya disikat hanya untuk mengejar kepentingan perut semata tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Akhirnya bisa ditebak, hutan menjadi gersang, tandus, kering dan gundul. Pencemaran merambah kemana-mana. Alam sudah mati, sehingga tidak mampu lagi memberikan kesejukan dan perlindungan buat manusia.
Akhirnya, alam yang selama ini selalu menjadi sahabat manusia, berubah menjadi musuh yang paling ditakuti. Alam murka pada manusia yang telah merusaknya. Ketika hujan turun, banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana, sebab tidak ada lagi pepohonan yang dapat menahan laju air. Bisa dipastikan, ribuan rumah serta jutaan hektar sawah terendam air. Pada saat musim kemarau menyapa, terjadi kekeringan dimana-dimana. Para petani menjerit karena lahan-lahan pertanian mengalami pusau akibat tidak ada lagi air untuk menyiram lahan pertanian mereka. Kebakaran hutanpun tidak bisa dihindari. Jerit tangis tak terelakkan. Sungguh mengenaskan! Mungkin inilah balasan yang harus diterima oleh manusia akibat ulahnya atas lingkungan yang mengabaikan norma dan etika.
Padahal hakikatnya, alam semesta beserta isinya, bagaimanapun keadaannya konkrit maupun abstrak adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Memang itulah kodratnya, alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat keberlangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum, perlindungan, keselamatan dan mata pencaharian kehidupan, Firman Allah SWT:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗۖ لَّكُم مِّنۡهُ شَرَابٞ وَمِنۡهُ شَجَرٞ فِيهِ تُسِيمُونَ ١٠
Artinya: “Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”. (Q.S An-Nahl: 10)
Dalam surat yang sama al-Qur’an menyatakan:
وَهُوَ ٱلَّذِي سَخَّرَ ٱلۡبَحۡرَ لِتَأۡكُلُواْ مِنۡهُ لَحۡمٗا طَرِيّٗا وَتَسۡتَخۡرِجُواْ مِنۡهُ حِلۡيَةٗ تَلۡبَسُونَهَاۖ وَتَرَى ٱلۡفُلۡكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٤
Artinya: “Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (Q.S An-Nahl: 14)
Karena itu, sungguh beruntung negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau terbentang. Berbagai kekayaan alam akan muncul dari sana. Minyak tanah, barang-barang tambang, serta hasil hutan lainnya dapat memberikan manfaat yang sangat besarbagi kehidupan manusia. Tak kalah menakjubkan, adanya air jernih – tanpa ada campuran zat-zat kimia— yang dapat memberikan kebugaran tubuh dan nafas tanaman. Masih banyak lagi manfaat-manfaat lain yang diberikan oleh alam. Ini adalah nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.
Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari dan terus dapat dinikmati oleh manusia. Caranya dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta isinya. Manusia hanya diminta untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga kekayaan alam yang telah diberikan menjadi lestari dan dapat dinikmati secara terus menerus oleh umat manusia, bahkan terus ditambah oleh Allah SWT.
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S Ibrahim: 7).[17]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut.
Pengertian lingkungan secara harfiah adalah segala sesuatu yang mengitari kehidupan, baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, maupun berupa non-fisik, seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang, serta teknologi.
Permasalahan lingkungan yang berada di sekitar kita adalah gangguan sampah dan air kotor adalah sarang penyakit sedangkan fenomena lingkungan diperkotaan adalah polusi udara, taman hijau perkotaan, limbah pabrik, pemanfaatan daerah aliran sungai dan banjir.
Dalam sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa ini berkisar pada beberapa aspek yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia khususnya manusia Indonesia, ada tiga persoalan dasar yang berkaitan dengan lingkungan hidup yaitu: Perusakan dan perampokan hutan di Indonesia yang mencapai 600.000 hektar pertahun dan terus meningkat intensitasnya, perusakan sumber daya laut dan Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.
Karenanya harus dirumuskan langkah-langkah strategis untuk merumuskan berbagai kebijakan yang mendukung pelestarian hutan, sumber daya mineral dan tambang, sumber daya laut dan lainnya. Tahap-tahap pelestarian lingkungan dalam buku fiqh lingkungan (menurut Al-Qur’an) adalah sebagai berikut:
1. Manusia Mengemban Tugas untuk Menjaga Bumi (Khalifatul Ardh)
2. Kerusakan Bumi karena Tangan Manusia
3. Air dijadikan Allah Sebagai Sumber Kehidupan
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata layak untuk dijadikan bacaan, Karena masih terdapat kekurangan baik dari isi maupun kesalahan penulisan makalah. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah penulis butuhkan demi perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abta, Asyhari Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh Lingkungan, Jakarta: Conservation International, 2006.
Al-Qardlawi, Yusuf, Islam Agama Ramah Lingkungan. Terj. oleh Abdullah Hakam Shah dkk. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Mahrus, An‘im Falahuddin, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, Jakarta: Conservation International, 2006.
Masruri, Ulin Ni’am, “Pelestarian Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014.
Muhyiddin, Asep, “Dakwah Lingkungan Persfektif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol.4, No.15 Januari-Juni 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Pdf, Pemeliharaan dan Pelestarian lingkungan Hidup dalam Islam.
Salam, Misbahus Beberapa konsep Pengelolaan dalam Fiqh Islam, dalam buku Fiqh Lingkungan Jakarta: Conservation International, 2006.
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2001.
Zakiah, Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Zulhammi, “Lingkungan Pendidikan Menurut Al-Qur’an”, Forum Paedagogik Vol. VI, No.01 Jan 2014.
[1]Asep Muhyiddin, “Dakwah Lingkungan Persfektif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol.4, No.15 Januari-Juni 2010. h. 810-811.
[2]Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2001), h. 675.
[3]Yusuf Al-Qardlawi, Islam Agama Ramah Lingkungan. Terj. oleh Abdullah Hakam Shah dkk. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 5.
[6]Ulin Ni’am Masruri, “Pelestarian Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014, h. 415-416.
[7]Zulhammi, “Lingkungan Pendidikan Menurut Al-Qur’an”, Forum Paedagogik Vol. VI, No.01 Jan 2014, h. 185.
[8]An‘im Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 42.
[9]An‘im Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 43.
[10]An‘im Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 44.
[11]An‘im Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 45.
[12]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 76-77.
[14]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 77-78.
[15]Ulin Ni’am Masruri, “Pelestarian Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014, h. 417-419.
[16]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 78.
[17]Misbahus Salam, Beberapa konsep Pengelolaan dalam Fiqh Islam, dalam buku Fiqh Lingkungan (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 79-80.
Semoga Bermanfaat, Senang membantu orang yang membutuhkan terima kasih :)
Post a Comment